“Marandang”, Sahaja Sosok Ahli Bahasa Mandar

Saat pertama kali bertemu dan melihat beliau, entah kenapa mata sayu yang dihiasi keriput tanda umur mulai uzur itu membuatku terkesima. Beliau menyapa saya. Suara halus tertutur dari ucapannya yang renta menjabat tanganku. Bahagia bisa menggenggam tangan seorang ilmuwan Mandar. 

Siapa yang tidak mengenal bapak Abdul Muthalib. Beliau termasuk intelektual Mandar yang cukup disegani, selain memang sudah senior. Saya belum lahir, beliau sudah meliharkan puluhan karya. Hampir seratus karya yang beliau lahirkan terpajang di perpustakaan luar negeri, khususnya di Kyoto Jepang. Sebut buku cerita rakyat Sulawesi Selatan, Ditirakkaqna Alang, Sastra Lisan Toloq Mandar, Transliterasi dan Terjemahan Peppasang dan Kalindaqdaq, Struktur Satra Lisan Mandar, Kedudukan dan Fungsi Bahasa Mandar, Tata Bahasa Mandar, dan Sistem Perulangan Bahasa Mandar.  Masih banyak karya-karya beliau yang tak sempat saya sebutkan. Beliau patut digelari dan masuk klasifikasi seorang pakar bahasa, khususnya Bahasa Mandar.

Saat bertamu ke kediaman beliau pertama kali, Jumat lalu, santun beliau mempersilahkan kami masuk hendak bertamu kerumah. Menanyakan hajat kami bertamu. Rasanya agak malu barusan bercakap dengan orang hebat cakapku dalam hati. Kami sampaikan niat bertamu, selain datang untuk mengkomfirmasi kehadiran teman teman Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar (Kompa Dansa Mandar) wilayah Makassar di hari Minggu nanti juga hendak menimba ilmu sekadarnya dari beliau.

abdul muthalib tokoh penyusn kamus mandar indonesia
Tokoh penyusun kamus Mandar - Indonesia Drs. Abd. Muthalib (foto : Muhammad Fadil M. )

Saat mulai bercakap dan mulai menceritakan sepenggal perjalanan dan perjuangan hidupnya entah kenapa rasa berbaur saya terpacu untuk mengorek wawasan beliau. Beberapa kali saya melempar pertanyaan pada beliau ucap saya dengan logat Pambusuang yang saya rasa beliau tahu saya orang mana.

“Tabeq puang, meloaq mittuleq, apa perbedaanna bahasa Mandar Pitu Baqbana Binangan anna bahasa Mandar Pitu Ulunna Salu puang?,” tanya saya malu. Beliau menjawab dengan sedemikian rupanya hingga mengeluarkan teori teori kebahasaan linguistik yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Hebatnya, beliau menuturkan itu dengan menghubungkannya pada kebahasaan di Mandar. Sungguh hari itu lansung saya gelari beliau sumur ilmu. Ya, sumur ilmu. Sebab air dalam sumur itu adalah ilmu yang jernih dan menyehatkan. Disitulah inspirasi sehingga saya memberi judul tulisan saya ini “marandang” yang berarti jernih.

Beliau juga mengenalkan saya pada titik temu perbedaan perbedaan bahasa di Manda. Perbedaan yang terjadi dalam dialektika bahasa Mandar itu disebabkan intonasi, geografis daerah, dan kebiasaan lidah dalam pengucapan bahasa Mandar yang turun temurun terwarisi di daerah masing-masing. Beliau mencontohkan bagian kecil perbedaan itu, sebut saja bahasa Mandar rumah adalah “boyang”. Itu berlaku untuk sebagian wilayah Balanipa dan Pitu Baqbana Binanga. Lain halnya dengan penyebutan rumah pada daerah Majene dan sebagian wilayah Pitu Ulunna Salu yakni “sapo”. 

Pada hari ke dua, Minggu 1 Maret, saya dan beberapa teman-teman mahasiswa Mandar yang tergabung dalam Kompa Dansa Mandar mengunjungi beliau. Senyum sumringah terpancar dari wajahnya. Santun mempersilahkan kami masuk ke rumah. “Bincang bincang sedikit sambil menunggu teman teman ya,” tutur beliau. Diskusi-diskusi yang hidup itu membuat saya semakin “kepo” istilah anak muda sekarang. Apalagi kala beliau menyinggung kalindaqdaq dan Bahasa Mandar unik di Pambusuang. Ingin rasanya tertawa sepuasnya mendengar penuturan beliau menuturkan hal yang unik dari Bahasa Pambusuang.

Beliau menyampaikan bahwa logat bahasa Mandar di Pambusuang yang berlainan dengan Bahasa Mandar di tempat lain. Itulah Bahasa Pambusuang, bahasa ma’arif atau bahasa kesepakatan atau kebiasaan orang Pambusuang. Beliau mencontohkan seperti ini, tentang nama binatang berkaki empat. “Cippeq inna muola cippeq, maneammu latto”. Terdengar kasar bagi orang luar Pambusuang, tapi sebuah kewajaran di Pambusuang. Tertawa dalam hati mengetahui keunikan bahasa kampung halamanku.

Cerita-cerita kecil nan hangat mewarnai hari itu. Bahkan beliau memuji kami yang datang bersilaturrahim ke rumah beliau. “Saya sangat senang di kunjungi oleh anak-anak muda yang bersemangat seperti kalian, baru kali ini saya banyak bicara di rumah,” kata beliau.

Selain itu beliau sempat bertutur mengenai keresahan sebahagian orang mengenai dirinya yang nama beliau hanya sebagai editor dalam Kamus Mandar terbaharu padahal sejatinya beliaulah yang menulis kamus Mandar tersebut. Saat memberi jawaban, beliau meneteskan air mata. “Banyak orang yang menanyakan kenapa saya ini, kenapa saya tak dicantumkan dalam ini. Apalah arti sebuah nama justru saya bangga ada yang membesarkan nama mandar selain saya,” terang beliau.

“Apalah arti nama,” dengan nada rendah beliau mengucapkan itu pada kami. Entah saya sedang bertemu seorang sufi dalam hal kebahasaan Mandar. Sungguh saya kagum hingga mengucapkan dalam hati pun tak mampu untuk dibahasakan. Dialog yang sangat berbobot dan bermutu di samping pertanyaan pertanyaan yang terlempar cukup berkualitas. Sungguh hari yang berarti dalam hidup saya bertemu dengan seseorang yang ikhlas dan santun seperti beliau.

Sebelum menutup dialog berbobot itu beliau berpesan, “Barangkali ada diantara kita kita ini yang mengangkat sebuah tulisan tentang Mandar”. Ucapan beliau ini memacu saya untuk menulis sebuah karya ilmiah berhubung Mandar.  Mudah mudahan terlahir sebuah generasi yang menyamai beliau ini, perjuangan dan karya beliau sungguh member kontribusi kebaharian ilmu di Tanah Mandar.

Kontributor : Muhammad Fadil M.


No comments:

Write a Comment


Top