Sarung Sutera Mandar (Edisi Pulang Kampung)

Sakinah namanya, kelas 6 SD, tinggal di Kampung Suruang, Kec. Campalagian, Kab. Polman, Sulawesi Barat. Sulung dari dua bersaudara ini baru saja pulang dari sekolah ketika saya menjumpainya sedang membenahi benang-benang sutera yang akan ditenun menjadi sarung sutera mandar. Adik Sakinah tepatnya tinggal di kampung dekat lapangan, anak dari bapak-ibu Hadi dan Hardi. Saya takjub, anak seusia dia sudah demikian mahir menenun. Lihatlah betapa tangannya yang mungil itu lincah menyusupkan benang lalu menghentak-hentakkan bilah papan penguat. Atau apakah anak seusia dia di Mandar hal itu sudah lumrah? Entahlah. Belum sempat saya mencari tahu tentang itu. Apapun, yang pasti segera melintas rasa girang bahwa warisan budaya tanah Mandar itu insya Allah tidak akan punah. 

Sakinah menggulung benang untuk bahan menenun sarung sutera Mandar
Sakinah menggulung benang untuk bahan menenun sarung sutera Mandar (Foto : Silmi Djafar)
Sakinah menggulung benang untuk menenun sarung sutera MandarSakinah menggulung benang untuk menenun sarung sutera Mandar
Sakinah menggulung benang untuk menenun sarung sutera Mandar (Foto : Silmi Djafar)
Sakinah sebelum menenun sarung sutera Mandar
Sakinah sebelum menenun sarung sutera Mandar (Foto : Silmi Djafar)
Sakinah saat menenung sarun sutera Mandar
Sakinah saat menenung sarun sutera Mandar (Foto : Silmi Djafar)
Mudah-mudahan saya salah, bahwa tadinya ada semacam rasa cemas sarung sutera kebanggaan orang Mandar itu sebentar lagi bakal tersisih karena agaknya tak ada upaya yang cukup dari pihak-pihak yang berkompeten untuk mengembalikan marwah sarung itu seperti masa-masa lampau. Dalam amatan subjektif dan sekilas saya, sarung ini gaungnya kini tak senyaring kain-kain tenun dari daerah lain pada level nasional bahkan regional Sulsel. Saya ingat cerita ibu, konon dulu bangsawan Minang tak merasa lengkap jika tak mempunyai sutera mandar. Masihkah sekarang? Sekali lagi, mudah-mudahan saya salah!

Di tengah tugas utamanya belajar, Sakinah dapat menyelesaikan selembar sarung dalam seminggu. Sarung-sarung yang ditenunnya adalah sarung pesanan. Upahnya tak tentu. Wajah ibunya tak mengguratkan kesan sedih ketika mengutarakan itu.

Kontributor : Silmi Djafar


No comments:

Write a Comment


Top