Mungkinkah Bahasa Daerah (Mandar) Akan Tinggal Kenangan?

Mungkinkah bahasa daerah akan tinggal kenangan? Pertanyaan ini, saya tanyakan karena kedatangan tamu seorang anak berusia SMP dia masih keponakan. Zaki (namanya) datang membawa sebuah buku dongeng. Di sampul buku itu tertulis "cerita rakyat Mandar". Apa yang menjadi kegelisahan pertanyaan saya, ternyata ceritanya benar asli dari suku Mandar tetapi bahasa atau tulisannya malah memakai bahasa Indonesia, celakanya lagi, Zaki yang notabene kedua orang tuanya bersuku Mandar juga tak tahu menerjemahkan dongeng dalam buku ini ke dalam bahasa daerah Mandar jangankan Zaki orang tuanya saja bingung. Bayangkan, berapa banyak anak seusia Zaki yang hanya mengerti maksud bahasa Mandar tetapi tidak fasih mengucapkannya?

Dan buku yang seharusnya berbahasa Mandar ini dicetak dengan memakai bahasa Indonesia. Mungkin memakai bahasa Indonesia untuk meraup pasar yang lebih luas, tidak apa. Tapi jangan lupa asal dongeng itu yang aslinya berbahasa Mandar. Buku itu jelas kehilangan ruh bila harus menyebut dongeng ini berasal dari Mandar. Hemat saya buku ini seharusnya ada dalam dua bahasa, satu berbahasa daerah satunya lagi bahasa hasil terjemahan.

Pada akhirnya saya harus mengeja si Zaki kata per kata kata, dan ternyata butuh waktu untuk itu . Mengajar bahasa Mandar seperti membimbing seorang pendatang baru. Bahasa Mandar mungkinkah sebentar lagi akan punah?. Semoga saja tidak.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa bahasa Mandar tidak akan punah, namun menurut apa yang saya rekam, khusus di kota Majene terutama anak yang lahir di Majene. Agaknya sudah mengarah ke kasus seperti Zaki. Bisa di uji, sesekali coba berdialog dengan mereka. Kita akan mendengar ia akan membalas dengan memakai bahasa Indonesia, padahal kita berbicara dengan mereka dengan menggunakan bahasa Mandar. 

Seperti dijelaskan oleh Prof Dr. Multamia Lauder, pakar bahasa dari Universitas Indonesia (dikutip dari tirto.id) bahwa lebih dari 25 bahasa lokal berstatus hampir punah diantaranya yaitu Burumakok, Duriankere, Emplawas, Kaibobo, Kanum, Badi, Kayupulau, Kembra dan Kwerisa. Selain itu, bahasa Lengilu, Lolak, Melayu Bacan, Mandar, Massep, Mlap, Morori, Namla, Paulohi, Petjo, Ratahan, Salas, Taje, Tobati dan Woria.

Dari infografis yang disajikan dan bersumber dari data Kemendikbud, di wilayah Sulawesi Barat tertera satu bahasa yang terancam punah, yaitu bahasa Mandar.   

bahasa-mandar-terancam-punah
Infografis keterancaman bahasa Mandar (Foto : tirto.id)
Buku berjudul "cerita dari Mandar" menjadi salah satu buktinya. Sebuah usaha untuk melestarikan cerita rakyat (dongeng) dan telah di bukukan, jujur, saya sangat mengapresiasi usaha tersebut. Tetapi, seharusnya tak melupakan bahasa daerah asal dongeng itu (bahasa Mandar), jangan hanya karena memburu tuntutan "pasar" sampai harus melupakan asal muasal momolitan (dongeng) tersebut.

Generasi sekarang saja termasuk saya sudah banyak bahasa Mandar yang tidak diketahui artinya, apalagi generasi setelah kami. Jadi menurut saya sangat wajar kekhawatiran akan kepunahan bahasa Mandar akan terjadi. Semoga itu hanya kekhawatiran saya saja. 


Jika membandingkan dengan buku yang satu ini (Mottiana Mandar) lengkap. Menurut saya ini adalah buku yang sangat bergizi. Sebuah buku yang bisa di baca orang luar dari suku Mandar tapi tidak sampai melupakan asal muasalnya.

Sampul buku Mottiana Mandar karangan Muis Mandra (Foto : Tahmid)

Halaman buku Mottiana Mandar karangan Muis Mandra berisi huruf lontar dan terjemahannya (Foto : Tahmid)

Halaman buku Mottiana Mandar karangan Muis Mandra berisi huruf lontar dan terjemahannya (Foto : Tahmid)
Saya menilai sang penulis dalam hal ini Alm. M. Mandra mengetahui/sadar betul banyak anak asli orang Mandar yang tinggal di perantauan dan kemungkinan besar tak bisa mengucapkan lagi bahasa Mandar secara fasih. Maka beruntunglah masih ada buku semacam ini. Buku ini memiliki artikel yang aslinya bertuliskan lontar kemudian di terjemahkan kedalam dua bahasa, bahasa Mandar dan bahasa Indonesia.

Tetapi pada faktanya kita masih beruntung masih ada daerah pedalaman yang boleh dikatakan belum terkontaminasi, sangat berbeda dari daerah pesisir seperti daerah Majene yang telah lama membuka diri menerima para pendatang dari luar dan itu juga salah satu pengaruhnya. Tapi menurut saya penyebab utamanya itu adalah didikan orang tua sendiri, sejak kecil terbiasa memakai bahasa Indonesia bahkan ada yang berbahasa asing.


Kontributor :
Teks : Tahmid
Foto :  Tahmid


No comments:

Write a Comment


Top