Mungkinkah bahasa daerah akan tinggal kenangan? Pertanyaan ini, saya tanyakan karena kedatangan tamu seorang anak berusia SMP dia masih keponakan. Zaki (namanya) datang membawa sebuah buku dongeng. Di sampul buku itu tertulis "cerita rakyat Mandar". Apa yang menjadi kegelisahan pertanyaan saya, ternyata ceritanya benar asli dari suku Mandar tetapi bahasa atau tulisannya malah memakai bahasa Indonesia, celakanya lagi, Zaki yang notabene kedua orang tuanya bersuku Mandar juga tak tahu menerjemahkan dongeng dalam buku ini ke dalam bahasa daerah Mandar jangankan Zaki orang tuanya saja bingung. Bayangkan, berapa banyak anak seusia Zaki yang hanya mengerti maksud bahasa Mandar tetapi tidak fasih mengucapkannya?

    Dan buku yang seharusnya berbahasa Mandar ini dicetak dengan memakai bahasa Indonesia. Mungkin memakai bahasa Indonesia untuk meraup pasar yang lebih luas, tidak apa. Tapi jangan lupa asal dongeng itu yang aslinya berbahasa Mandar. Buku itu jelas kehilangan ruh bila harus menyebut dongeng ini berasal dari Mandar. Hemat saya buku ini seharusnya ada dalam dua bahasa, satu berbahasa daerah satunya lagi bahasa hasil terjemahan.

    Pada akhirnya saya harus mengeja si Zaki kata per kata kata, dan ternyata butuh waktu untuk itu . Mengajar bahasa Mandar seperti membimbing seorang pendatang baru. Bahasa Mandar mungkinkah sebentar lagi akan punah?. Semoga saja tidak.

    Ada pendapat yang mengatakan bahwa bahasa Mandar tidak akan punah, namun menurut apa yang saya rekam, khusus di kota Majene terutama anak yang lahir di Majene. Agaknya sudah mengarah ke kasus seperti Zaki. Bisa di uji, sesekali coba berdialog dengan mereka. Kita akan mendengar ia akan membalas dengan memakai bahasa Indonesia, padahal kita berbicara dengan mereka dengan menggunakan bahasa Mandar. 

    Seperti dijelaskan oleh Prof Dr. Multamia Lauder, pakar bahasa dari Universitas Indonesia (dikutip dari tirto.id) bahwa lebih dari 25 bahasa lokal berstatus hampir punah diantaranya yaitu Burumakok, Duriankere, Emplawas, Kaibobo, Kanum, Badi, Kayupulau, Kembra dan Kwerisa. Selain itu, bahasa Lengilu, Lolak, Melayu Bacan, Mandar, Massep, Mlap, Morori, Namla, Paulohi, Petjo, Ratahan, Salas, Taje, Tobati dan Woria.

    Dari infografis yang disajikan dan bersumber dari data Kemendikbud, di wilayah Sulawesi Barat tertera satu bahasa yang terancam punah, yaitu bahasa Mandar.   

    bahasa-mandar-terancam-punah
    Infografis keterancaman bahasa Mandar (Foto : tirto.id)
    Buku berjudul "cerita dari Mandar" menjadi salah satu buktinya. Sebuah usaha untuk melestarikan cerita rakyat (dongeng) dan telah di bukukan, jujur, saya sangat mengapresiasi usaha tersebut. Tetapi, seharusnya tak melupakan bahasa daerah asal dongeng itu (bahasa Mandar), jangan hanya karena memburu tuntutan "pasar" sampai harus melupakan asal muasal momolitan (dongeng) tersebut.

    Generasi sekarang saja termasuk saya sudah banyak bahasa Mandar yang tidak diketahui artinya, apalagi generasi setelah kami. Jadi menurut saya sangat wajar kekhawatiran akan kepunahan bahasa Mandar akan terjadi. Semoga itu hanya kekhawatiran saya saja. 


    Jika membandingkan dengan buku yang satu ini (Mottiana Mandar) lengkap. Menurut saya ini adalah buku yang sangat bergizi. Sebuah buku yang bisa di baca orang luar dari suku Mandar tapi tidak sampai melupakan asal muasalnya.

    Sampul buku Mottiana Mandar karangan Muis Mandra (Foto : Tahmid)

    Halaman buku Mottiana Mandar karangan Muis Mandra berisi huruf lontar dan terjemahannya (Foto : Tahmid)

    Halaman buku Mottiana Mandar karangan Muis Mandra berisi huruf lontar dan terjemahannya (Foto : Tahmid)
    Saya menilai sang penulis dalam hal ini Alm. M. Mandra mengetahui/sadar betul banyak anak asli orang Mandar yang tinggal di perantauan dan kemungkinan besar tak bisa mengucapkan lagi bahasa Mandar secara fasih. Maka beruntunglah masih ada buku semacam ini. Buku ini memiliki artikel yang aslinya bertuliskan lontar kemudian di terjemahkan kedalam dua bahasa, bahasa Mandar dan bahasa Indonesia.

    Tetapi pada faktanya kita masih beruntung masih ada daerah pedalaman yang boleh dikatakan belum terkontaminasi, sangat berbeda dari daerah pesisir seperti daerah Majene yang telah lama membuka diri menerima para pendatang dari luar dan itu juga salah satu pengaruhnya. Tapi menurut saya penyebab utamanya itu adalah didikan orang tua sendiri, sejak kecil terbiasa memakai bahasa Indonesia bahkan ada yang berbahasa asing.


    Kontributor :
    Teks : Tahmid
    Foto :  Tahmid

    Jelang bulan Ramadhan bagi sebagian orang akan disambut dengan budaya berwisata alam, kebiasaan yang baru muncul beberapa tahun terakhir. Entah mengapa kebiasaaan ini bisa terbentuk, biasanya sebelum masuknya bulan puasa maka masyarakat menyempatkan untuk mengunjungi objek wisata. Sementara anjuran dalam agama Islam tidak mengenal kebiasaan tersebut. 

    Kebiasaan berwisata sebaiknya diputar dan diarahkan ke kegiatan yang lebih positif dari tinjauan sisi agama, anjuran untuk mengunjungi tempat-tempat yang berbau agama sebaiknya dilakukan dalam balutan wisata. Mengunjungi pondok pesantren, belajar sejarah Islam, mengunjungi makam para penyebar Islam, atau melakukan tour di masjid dan bergabung dalam beberapa kegiatan di masjid dapat mengisi waktu saat dalam bulan Ramadhan. 

    Hal yang mungkin menarik misalnya adalah mengunjungi masjid-masjid tempat ibadah, seperti yang dilakukan oleh Askar Al Qadri, anggota KDM saat mengunjungi masjid Lapeo di Campalagian , hal ini dapat mendekatkan diri dan meningkatkan keimanan. 

    Masjid Nuruttaubah Lapeo, Campalagian dari atas lantai 4. Dari atas sana, kita sudah jelas dapat melihat setiap bagian dan sudut-sudut di Kec. Campalagian dalam versi mini, seperti yang terlihat pada rumah-rumah warga, mobil, dan motor di sepanjang jalur utama trans Sulawesi Barat. 

    masjid lapeo wisata religi
    View lantai 4 Masjid Nuruttaubah Lapeo, kec. Campalagian, kab. Polewali Mandar (Foto : Askar Al Qadri)
    Selain masjid Lapeo, masih ada banyak tempat-tempat berpotensi wisata religi yang dapat dikunjungi menjelang, dan selama bulan Ramadhan. 

    Bahwa agama Islam masuk ke wilayah Mandar, Sulawesi Barat dibawa oleh orang-orang dari luar saat para raja non Islam memerintah, Islam kemudian diterima dengan baik oleh raja-raja dan mereka memeluk agama Islam, hingga kemudian masyarakatnya mengikut agama yang dianut oleh raja. Ini dapat menambah pengetahuan soal sejarah Islam. 

    Bukti bahwa para penganjur Islam ini pernah membawa Islam ke Mandar adalah banyaknya jejak makam para penganjur Islam yang tersebar di kabupaten Polewali Mandar dan Majene, dari Syekh Abd Rahim Kamaluddin yang menyebar Islam di kerajaan Balanipa, Syekh Abd. Mannan yang menyebar Islam di kerajaan Banggae, Suryodilogo yang menyebar Islam di kerajaan Pamboang. 

    Selain makam-makam penyebar Islam, makam-makam ulama populer terkenal juga dapat menjadi tujuan wisata diantaranya makam  KH Muhammad Tahir (Imam Lapeo), makam KH. Muhammad Saleh (Annangguru Saleh) serta beberrapa makam ulama lainnya. 

    Kontributor :
    Teks : Muhammad Tom Andari, Askar Al Qadri
    Foto : Askar Al Qadri

    Berbicara tentang Mandar yang sekarang, tentu harus dimulai dari kehidupan manusia yang paling awal menghuni wilayah ini hingga membentuk komunitas dan budaya seperti yang kita lihat sekarang meskipun sudah banyak yang tidak nampak lagi baik karena alasan agama, hukum atau usaha penghapusan yang telah dilakukan oleh penjajah. 

    Manusia awal yang saya maksud disini tentu saja To Manurung seperti yang diceritakan didalam Lontaraq Pattodioloang, lalu masuk ke periode To Makaka, kemudian masuk periode Maraqdia dan berlanjut ke periode perang kemerdekaan dan berakhir pada Mandar di kekinian. 

    Raja Balanipa berangkat menuju kediaman assistent-resident Mamuju (tahun 1938). (Foto : Wikiwand)
    Untuk sejarah mandar sendiri, masih sangat sedikit literatur yang mengupas hal itu. Dalam mengkaji sebuah sejarah, terkadang kita terperangkap dengan keharusan adanya bukti tertulis yang langsung menunjukkan fakta sejarah. Terkadang kita mengacuhkan cerita rakyat, budaya tutur dan tidak berusaha mencari benang merah dari bahasa tutur itu dengan fakta sejarah. Sementara disisi lain kita tahu bahwa leluhur kita sudah ada sebelum budaya menulis dimulai. Ayo semua luluareq, mulailah pelajari sejarah dan budaya kita sebelum sejarah dan budaya itu hilang dan tersembunyi.

    Kontributor :
    Teks : Baso
    Fot : Wikiwand
     

    "Kunjungan wisatawan ke Toraja Utara meningkat, kemungkinan akhir-akhir ini berhubungan dengan efek Lolai, Negeri Di Atas Awan, tetapi kunjungan ke Tana Toraja mengalami penurunan, ada apa gerangan?? Padahal even "Lovely December" sudah dipromosi hingga ke pusat kota provinsi Sulawesi Selatan, dan dibantu oleh Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan "

    Taksi laut di pesisir Pulau Tangnga, Pulau Salamaq, Binuang, kab. Polewali Mandar
    Perahu nelayan di pesisir Pulau Tangnga, Pulau Salamaq, Binuang, kab. Polewali Mandar (foto : Muhammad Tom Andari)
    Menurut opini saya, sesuatu yang jelas adalah karena  panorama kampung diatas awannya memang istimewa, disamping belum formal karena belum ada pengelola wisata termasuk retribusi (lebih ke ekowisata dimana rumah nginapnya hanya rumah tongkonan warga sebagai homestay yang bisa nego), bisa mendirikan tenda di puncak, biaya parkir dan jasa lainnya belum berlaku, walau pelosok tapi fasilitas listrik sudah masuk, 20 km dari Rantepao dan naik pete2 20rb, ojek juga ada (kata teman). 

    Strategi yang berlaku meski tidak dikelola resmi oleh pemerintah, malah lebih leluasa sebab 10 orang yang naik bisa berlipat-lipat promosi yang dilahirkan melalui media sosial yang terhitung murah dan praktis. apalagi jika mencapai jumlah ratusan orang. Ini sebenarnya sama dengan yang dilakukan oleh teman2 Kompadansa Mandar/KDM (hanya khas alam saja yang beda). Sama juga dengan kawasan persawahan di kampung Rammang-Rammang kab.Maros, Sulawesi Selatan yang pada awalnya dieksplor oleh komunitas kecil yang suka alam bebas, lalu disambut oleh pemerintah dengan menghelat Full Moon Festival Rammang-Rammang dengan menawarkan eksotisme bulan purnama, danau-danau kecil serta disentuh pagelaran kesenian. Demikian pun kampung Lolai di kab. Toraja Utara, Sulawesi Selatan  yang sebenarnya semenjak dari dahulu negeri di atas awan tersebut tertimbun gempita wisata. 

    Semenjak teknologi informasi berkembang termasuk media sosial baru keindahan itu terekspos dari hal-hal yang terkecil dan sederhana (berkemah, selfie dll). Namun dalam hal ini, tidak berarti kita mesti menafikkan organisasi pengelola termasuk adanya Pokdarwis. Tetapi efesiensi, ketepatan kerja mesti imbang atau bahkan lebih dari upaya anggaran yang tersedia dimana tentu dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat sebagai pendukung utama obyek tersebut. 

    Coba kita evaluasi perkembangan area-area wisata yang ada di Sulawesi Barat, atau Polewali Mandar  secara khusus,  misal yang ada di Kanang, Binuang, Mampie, Palippis dsb. Apakah ada grafik perkembangan nda, sekali lagi jika soal event kesenian dan budaya yang dapat menyokong wisata kita, saya berpikir sudah cukup "panas", tetapi eksplor atau pemilahan kekayaan panorama alamnya bagaimana? beribu berjuta turis pun kita undang pada tiap launching/opening ceremoninya mungkin tidak akan bertambah lagi kunjungannya (mis. fokus pada satu obyek wisata). Contoh Mentawai di Sumatra karena ada Ombak nya yang bagus tuk selancar, pedalaman Ubud di Bali karena ada perbukitan sawah, sejuk, kental tradisi membuat seniman pelukis dll betah. Akhir-akhir ini NTT dan Maluku utara ramai terekspos oleh laut dan pantainya. 

    Dari sekian yang sudah dirambah oleh teman2 Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar/KDM, terbilang lumayan spot-spot yang dipromokan, asyik dan indah. Dan semestinya kita mengadakan semacam review atau resume dari semua objek keindahan itu. Salam Eksplor,,

    Kontributor :
    Gambar  : Muhammad Tom Andari
    Teks : Muhammad Rachmat 

    , , ,

    Sejak semalam (28/08/2014) sampai pagi ini (29/08/2014) melihat foto Komunitas Sureq Bolong yang melakukan pementasan di Makassar (kiriman dari Jayalangkaraq). 
    Penampilan Ishak Jenggot dalam Kampung Budaya Makassar 2014
    Penampilan Ishak dari Sureq Bolong saat pertunjukan di Kampung Budaya Makassar 2014 (Foto : Ishak )
    Di Makassar pernah lahir satu kelompok musik yang bernama Laba-Laba Duda Hitam. Kelompok ini cukup disegani dan dikenal, paling tidak di gedung kesenian Makassar. Paling membanggakan karena kelompok ini didominasi orang Mandar, sehingga karakter dan materi lagu/ pertunjukan mereka itu berpijak pada budaya Mandar. Sebutlah misalnya sayang-sayang, paccalong, kalindaqdaq, keke, gongga: dieksplor sedemikian rupa dalam setiap karya original mereka. Sayangnya kelompok ini berumur pendek, tapi meninggalkan kesan yang manis. 

    Saat gaung kelompok ini meredup, para punggawanya kemudian eksis (makin eksis) di Teater Kampus (Terkam) Universitas Negeri Makassar. Saya mau bilang, mereka lah para guru saya: orang yang mengajak saya untuk berteater. Kala itu, orang Mandar lagi yang dominan di Terkam, sehingga ada plesetan bahwa Terkam itu akronim dari teater kampung. Saya berani berkata, di fase itu-lah kejayaan Mandar dalam jagad kesenian di Makassar berada. Tanpa menapikan popularitas Alm. Nurdahlan Jerana, tapi nanti melalui abang Ishak Jenggot, Dalif Palipoi, Sahabuddin Mahgana: orang mandar memiliki wadah atau kelompok yang sangat-sangat berbau Mandar. Alhasil, rumah kost saya (Pondok Anugerah) di Dg. Tata I disesaki para peteater, pemusik, pelukis dan pesastra: dan dominan orang Mandar. Dari situlah kemudian, Komunitas Sureq Bolong dirancang. Selain karna mashab kesenian yang kental, kala itu hanya Teater Flamboyat yang eksis di Polman: dan tidak ada kualitas yang terakui tanpa kompetisi. Harus ada komunitas lain beberapa tahun ke depan (kesimpulannya). Hasil dari proses di atas: Dalif membentuk Sossorang, Sahabuddin merancang One Do, Ishak tetap di Sureq Bolong yang kemudian membina Madatte Arts. 

    Lalu seperti yang kita lihat hari ini, sanggar seni tumbuh subur di kabupaten Polewali Mandar: lebih berwarna dan dinamis. Untuk Tinambung saya mencatatnya seperti ini: sebanyak apapun komunitas yang lahir, loyalitas kepada lembaga tetap terjaga. Saya belum pernah mendengar ada komunitas di Tinambung yang gulung tikar. Walau pada kenyataannya, ada lembaga yang dihuni hanya 1-3 orang saja. Tapi hal ini didukung iklim yang baik: mereka saling bantu lintas lembaga. Kedewasaan seperti ini yang sangat sulit dilakukan di Polewali. Tapi lambat laun ke arah itu akan ada: saya mulai saja dari perpecahan di Madatte yang kemudian melahirkan 2 lembaga (tiga kalau Madatte juga dihitung). Pada akhirnya kita akan disatukan oleh kebutuhan. Contoh kasus, Maspit dan Alm. Darmawi pernah masuk formasi Laba-Laba Duda Hitam sekaligus tetap menjadi anggota TF. 

    Melalui tulisan pendek ini: dan mengamati perkembangan Kab. Balanipa, maka: saatnya ada poros Polewali (hebat dan kreatif dapat dipelajari: hanya persoalan waktu).

    Kontributor : Ibnu Masyis

    ,

    Seperti ada gelombang virus budaya dan wisata yang ditularkan dan hal tersebut tidak pernah kami duga, nyaris menyentuh mereka para pemuda dan pemudi, mulai dari “daun muda” hingga “daun tua”, tak peduli berapa interval umur yang ada, semuanya larut dalam euforia bahwa mereka sedang dalam usaha untuk berwisata sembari memperkenalkan daerah mereka sendiri.

    Kami nyaris tak pernah menyangka bahwa gelombang yang lahir saat ini merupakan efek dari riak budaya wisata yang kami gaungkan kurang lebih setahun yang lalu. Ya, efeknya viral dengan senjata social media yang lebih dahulu dihembuskan oleh para pendiri social media seperti Facebook dan Twitter. Usaha menggelorakan virus cinta tanah kelahiran kami tempuh melalui Facebook, pilihannya jatuh ke aplikasi sosmed ini, paling ampuh untuk wilayah Sulawesi Barat, dengan kisaran pengguna dari tingkat social ekonomi yang rendah, menengah hingga yang tinggi, namun sayang karena grup ini tidaklah terlalu kental dalam menggunakan bahasa daerah sendiri (Mandar) maka kemudian ia sedikit dilirik oleh orang-orang yang menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar bahasa mereka, atau apakah mereka kurang respek dengan penggiat budaya daerah yang mungkin lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia, entahlah, yang jelas menyampaikan segala hal tentang budaya dan wisata dalam bahasa daerah tidaklah efektif untuk saat ini, jika tidak dibarengi dengan bahasa nasional, Bahasa Indonesia.

    Gema budaya dan wisata nyaris terasa, ada banyak pernak-pernik yang berseliweran di wall (dinding) facebook, testimoni mengenai ketakjuban pada objek wisata, atau hanya sekedar opini mengenai ke-Mandar-an yang kurang kental, Ya, ini memang tentang menyebarkan hal yang berhubungan dengan Mandar dan Sulawesi Barat, namun dalam hal yang lebih dan agak tradisional (budaya –wisata).

    member kompa dansa mandar menyaksikan pakkottau di desa parappe campalagian polman
    Member KOMPA DANSA MANDAR saat melakukan trip mengunjungi seni bela diri pakkottau di desa parappe kec. Campalagian Lab. Polewali Mandar  (Foto : Zulkifli Zain)
    Budaya dan wisata, dua hal ini merupakan citra yang dapat mengangkat suatu daerah, namun dua hal ini pulalah yang paling banyak menguras biaya jika ingin mendapat prioritas. Satu contoh kasus untuk hal budaya adalah dalam perkawinan yang terjadi di suku Mandar, ada begitu banyak ritual yang terjadi, jika hari ini ingin mengikuti ritual-ritual tersebut, mulai dari rangkaian messisi hingga acara perkawinan maka bersiaplah untuk budget dalam jumlah besar, lalu kemudian wajar jika seorang lelaki di Mandar akan berpikir masak-masak untuk menikahi sang pujaan hati, belum lagi budaya yang juga berlaku di Mandar jika si calon mempelai laki-laki akan membawa sejumlah “uang belanja” untuk biaya operasional pernikahan. Rangkaian pelaksanaan kegiatan budaya sejatinya memakan biaya yang tidak sedikit, sama halnya dengan kegiatan-kegiatan kebudayaan yang dilakukan pemerintah, coba saja lirik di bagian pendanaannya, pasti ada biaya yang jumlahnya segunung.

    Dalam ranah budaya kami menelusuri langsung ke lokasinya, mencoba merekam peristiwa dan kejadian yang berlangsung untuk kemudian melakukan pendokumentasian seadanya, sembari melirik sedikit hal yang melatarbelakangi kejadian tersebut dalam aspek yang bernama sejarah. Tetapi, ini masih dalam tahap pengenalan, ada banyak hal penting yang luput, itu tak mengapa, saat ini bukan penting atau tidaknya, tetapi apakah “ada” atau “tidak ada” persoalan “penting” bisa dikoreksi untuk berikutnya.

    Lalu untuk wisata seperti apa? Pengembangan wisata nyaris tak ada yang ingin menyentuh, karena sifatnya yang dalam waktu panjang tak dapat dinikmati dalam waktu singkat. Sedikit wilayah yang ingin masuk kedalam ranah “pengembangan wisata” untuk betul-betul melakukan program peningkatan fasilitas, pengadaan sarana dan prasarana, serta promosi. Sama halnya dengan pelaksanaan kegiatan budaya program wisata lebih menyerap banyak budget untuk peaksanaannya, biaya pemeliharaan adalah yang paling banyak dibutuhkan, namun satu hal yang paling penting adalah sarana dan prasarana semisal akses jalan menuju tempat wisata, ini yang paling penting.

    Lalu, apa yang kami lakukan? Kami berwisata di negeri sendiri, mengenali potensinya, melakukan sedikit intervensi yang kami bisa, mengenalkan lokasi wisata yang mungkin belum banyak dijamah orang, dan mengabarkannya pada orang lain. Lagi-lagu kami hanya bisa mempromosikannya lewat dunia tulis menulis karena itu metode yang paling efektif untuk merekamnya, dan dalam waktu yang bersamaan menuliskan nama dalam catatan sejarah usaha pelestarian budaya dan wisata di negeri yang dahulu terbelakang.

    ,

    Dalam setiap kunjungan budaya dan wisata kami menemukan banyak cinta yang kadang bersemi dan tumbuh diantara mereka, entah itu cinta yang secara spontanitas tumbuh, cinta yang sedari dulu dipersiapkan untuk tumbuh, atau cinta yang tumbuh setelah mereka bertemu dalam kunjungan. Kondisi pra, present, dan past, hal itu mungkin lebih bisa menggambarkan keadaan yang ada. Namun selain dari tiga momen tersebut, terdapat fenomena cinta insidentil yang bisa saja tumbuh, dan hal tersebut yang lebih seru untuk dicermati, ini mungkin yang paling sulit untuk dirasionalkan, mengapa ia dapat tumbuh dalam waktu yang tiba-tiba, tanpa rencana. Kembali pada falsafah cinta yang sering didengung-dengungkan orang awam bahwa ia tak pernah melihat waktu, tempat dan orang, ia bisa datang dimanapun, kapanpun dan pada siapapun.
    cinta budaya wisata kompa dansa mandar
    Ilustrasi
     Merupakan hal yang wajar jika cinta bisa saja tumbuh secara spontan, ada banyak momen yang terjadi dalam setiap kunjungan yang mereka lakukan dan kesempatan ini memang ada. Jadilah kemudian kunjungan budaya dan wisata menjadi ladang dimana cinta disemai dan melahirkan kuncup yang indah. Cinta seperti apa yang dibentuk? Tentu saja cinta yang akan dibingkai oleh peristiwa dan kejadian yang berhubungan dengan budaya-wisata pula. Potensi untuk melakukan pendekatan interpersonal dimungkinkan adanya atas nama budaya-wisata, hal yang dapat dijadikan alat atau modus untuk menyelinap di balik “misi tersembunyi” yang ada.

    Selain cinta, diantara mereka juga kadang tumbuh rasa kagum yang bisa terbaca dari mimik wajah dan roman muka, entahlah kekaguman itu kelak akan dipancarkan atau tidak, yang jelas jalan untuk terjadinya proses penyemaian cinta selalu ada. Kekaguman disampaikan kadang dalam lelucon sederhana, atau pertanyaan simple seputar asal daerah. Lalu setelah itu apa? hanya mereka yang tahu apakah akan menyemai benih, memupuknya, hingga kemudian beroleh hasil panennya kelak.

    Kegiatan intens dalam bingkai budaya dan wisata menuntut mereka memiliki persepsi dan pola pikir yang sama, keadaaan dan peristiwa yang sama dengan jenis aktivitas yang sama pula. Lalu bagaimana mungkin cinta tidak akan tumbuh, jika mengetahui segala bentuk perilaku, sifat, dan karakter yang didapati. Walaupun, berlangsung singkat dan instan penilaian tidak bijak dilakukan dalam satu kali pengamatan, namun kondisi dan suasana yang lebih intens bisa membuat pengamatan yang mestinya beberapa kali dilakukan menjadi disingkat hanya dalam satu kali pengamatan saja. Keadaan memang bisa sangat mengubah kondisi hati dan perasaan, dan cinta memang akan selalu bicara soal hati dan perasaan yang selalu akan buta melihat fakta dan realita yang hadir.

    Cinta yang hadir dalam euforia budaya-wisata tidaklah pernah salah dan tak akan pernah bisa disalahkan, ini masih dalam ambang batas yang bisa diterima ketika seorang manusia merasa menjadi lebih nyaman dalam kondisi yang agak tradisional.


Top