Komunitas Penggiat Budaya Dan Wisata Mandar - Promosi Budaya, Sejarah, dan Wisata Mandar, Sulawesi Barat
Showing posts with label Opini. Show all posts
Opini
Mungkinkah bahasa daerah akan tinggal kenangan? Pertanyaan ini, saya
tanyakan karena kedatangan tamu seorang anak berusia SMP dia
masih keponakan. Zaki (namanya) datang membawa sebuah buku
dongeng. Di sampul buku itu tertulis "cerita rakyat Mandar". Apa yang
menjadi kegelisahan pertanyaan saya, ternyata ceritanya benar asli
dari suku Mandar tetapi bahasa atau tulisannya malah memakai bahasa
Indonesia, celakanya lagi, Zaki yang notabene kedua orang tuanya
bersuku Mandar juga tak tahu menerjemahkan dongeng dalam buku ini ke
dalam bahasa daerah Mandar jangankan Zaki orang tuanya saja bingung.
Bayangkan, berapa banyak anak seusia Zaki yang hanya mengerti maksud
bahasa Mandar tetapi tidak fasih mengucapkannya?
Dan buku yang seharusnya berbahasa Mandar ini dicetak dengan memakai
bahasa Indonesia. Mungkin memakai bahasa Indonesia untuk meraup
pasar yang lebih luas, tidak apa. Tapi jangan lupa asal dongeng itu yang
aslinya berbahasa Mandar. Buku itu jelas kehilangan ruh bila harus
menyebut dongeng ini berasal dari Mandar. Hemat saya buku ini
seharusnya ada dalam dua bahasa, satu berbahasa daerah satunya lagi bahasa
hasil terjemahan.
Pada akhirnya saya harus mengeja si Zaki kata per kata kata, dan ternyata butuh waktu untuk itu . Mengajar bahasa Mandar seperti membimbing seorang pendatang baru. Bahasa Mandar mungkinkah sebentar lagi akan punah?. Semoga saja tidak.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bahasa Mandar tidak akan punah, namun menurut apa yang saya rekam, khusus di kota Majene terutama anak yang lahir di Majene. Agaknya sudah mengarah ke kasus seperti Zaki. Bisa di uji, sesekali coba berdialog dengan mereka. Kita akan mendengar ia akan membalas dengan memakai bahasa Indonesia, padahal kita berbicara dengan mereka dengan menggunakan bahasa Mandar.
Seperti dijelaskan oleh Prof Dr. Multamia Lauder, pakar bahasa dari Universitas Indonesia (dikutip dari tirto.id) bahwa lebih dari 25 bahasa lokal berstatus hampir punah diantaranya yaitu Burumakok, Duriankere, Emplawas, Kaibobo, Kanum, Badi, Kayupulau, Kembra dan Kwerisa. Selain itu, bahasa Lengilu, Lolak, Melayu Bacan, Mandar, Massep, Mlap, Morori, Namla, Paulohi, Petjo, Ratahan, Salas, Taje, Tobati dan Woria.
Dari infografis yang disajikan dan bersumber dari data Kemendikbud, di wilayah Sulawesi Barat tertera satu bahasa yang terancam punah, yaitu bahasa Mandar.
Buku
berjudul "cerita dari Mandar" menjadi salah satu buktinya. Sebuah usaha
untuk melestarikan cerita rakyat (dongeng) dan telah di bukukan, jujur, saya sangat mengapresiasi usaha tersebut. Tetapi, seharusnya tak melupakan bahasa daerah asal dongeng
itu (bahasa Mandar), jangan hanya karena memburu tuntutan
"pasar" sampai harus melupakan asal muasal momolitan (dongeng) tersebut.
Generasi sekarang saja termasuk saya sudah banyak bahasa Mandar yang tidak diketahui artinya, apalagi generasi setelah kami. Jadi menurut saya sangat wajar kekhawatiran akan kepunahan bahasa Mandar akan terjadi. Semoga itu hanya kekhawatiran saya saja.
Jika membandingkan dengan buku yang satu ini (Mottiana Mandar) lengkap. Menurut saya ini adalah buku yang sangat bergizi. Sebuah buku yang bisa di baca orang luar dari suku Mandar tapi tidak sampai melupakan asal muasalnya.
Saya menilai sang penulis dalam hal ini Alm. M. Mandra
mengetahui/sadar betul banyak anak asli orang Mandar yang tinggal di
perantauan dan kemungkinan besar tak bisa mengucapkan lagi bahasa Mandar
secara fasih. Maka beruntunglah masih ada buku semacam ini. Buku ini memiliki artikel yang aslinya bertuliskan lontar kemudian di terjemahkan kedalam dua bahasa, bahasa Mandar dan bahasa Indonesia.
Tetapi pada faktanya kita masih beruntung masih ada daerah pedalaman yang boleh dikatakan belum terkontaminasi, sangat berbeda dari daerah pesisir seperti daerah Majene yang telah lama membuka diri menerima para pendatang dari luar dan itu juga salah satu pengaruhnya. Tapi menurut saya penyebab utamanya itu adalah didikan orang tua sendiri, sejak kecil terbiasa memakai bahasa Indonesia bahkan ada yang berbahasa asing.
Kontributor :
Teks : Tahmid
Foto : Tahmid
Pada akhirnya saya harus mengeja si Zaki kata per kata kata, dan ternyata butuh waktu untuk itu . Mengajar bahasa Mandar seperti membimbing seorang pendatang baru. Bahasa Mandar mungkinkah sebentar lagi akan punah?. Semoga saja tidak.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bahasa Mandar tidak akan punah, namun menurut apa yang saya rekam, khusus di kota Majene terutama anak yang lahir di Majene. Agaknya sudah mengarah ke kasus seperti Zaki. Bisa di uji, sesekali coba berdialog dengan mereka. Kita akan mendengar ia akan membalas dengan memakai bahasa Indonesia, padahal kita berbicara dengan mereka dengan menggunakan bahasa Mandar.
Seperti dijelaskan oleh Prof Dr. Multamia Lauder, pakar bahasa dari Universitas Indonesia (dikutip dari tirto.id) bahwa lebih dari 25 bahasa lokal berstatus hampir punah diantaranya yaitu Burumakok, Duriankere, Emplawas, Kaibobo, Kanum, Badi, Kayupulau, Kembra dan Kwerisa. Selain itu, bahasa Lengilu, Lolak, Melayu Bacan, Mandar, Massep, Mlap, Morori, Namla, Paulohi, Petjo, Ratahan, Salas, Taje, Tobati dan Woria.
Dari infografis yang disajikan dan bersumber dari data Kemendikbud, di wilayah Sulawesi Barat tertera satu bahasa yang terancam punah, yaitu bahasa Mandar.
![]() |
Infografis keterancaman bahasa Mandar (Foto : tirto.id) |
Generasi sekarang saja termasuk saya sudah banyak bahasa Mandar yang tidak diketahui artinya, apalagi generasi setelah kami. Jadi menurut saya sangat wajar kekhawatiran akan kepunahan bahasa Mandar akan terjadi. Semoga itu hanya kekhawatiran saya saja.
Jika membandingkan dengan buku yang satu ini (Mottiana Mandar) lengkap. Menurut saya ini adalah buku yang sangat bergizi. Sebuah buku yang bisa di baca orang luar dari suku Mandar tapi tidak sampai melupakan asal muasalnya.
![]() |
Sampul buku Mottiana Mandar karangan Muis Mandra (Foto : Tahmid) |
![]() |
Halaman buku Mottiana Mandar karangan Muis Mandra berisi huruf lontar dan terjemahannya (Foto : Tahmid) |
![]() | |
|
Tetapi pada faktanya kita masih beruntung masih ada daerah pedalaman yang boleh dikatakan belum terkontaminasi, sangat berbeda dari daerah pesisir seperti daerah Majene yang telah lama membuka diri menerima para pendatang dari luar dan itu juga salah satu pengaruhnya. Tapi menurut saya penyebab utamanya itu adalah didikan orang tua sendiri, sejak kecil terbiasa memakai bahasa Indonesia bahkan ada yang berbahasa asing.
Kontributor :
Teks : Tahmid
Foto : Tahmid
Opini
Jelang bulan Ramadhan bagi sebagian orang akan disambut dengan budaya berwisata alam, kebiasaan yang baru muncul beberapa tahun terakhir. Entah mengapa kebiasaaan ini bisa terbentuk, biasanya sebelum masuknya bulan puasa maka masyarakat menyempatkan untuk mengunjungi objek wisata. Sementara anjuran dalam agama Islam tidak mengenal kebiasaan tersebut.
Kebiasaan berwisata sebaiknya diputar dan diarahkan ke kegiatan yang lebih positif dari tinjauan sisi agama, anjuran untuk mengunjungi tempat-tempat yang berbau agama sebaiknya dilakukan dalam balutan wisata. Mengunjungi pondok pesantren, belajar sejarah Islam, mengunjungi makam para penyebar Islam, atau melakukan tour di masjid dan bergabung dalam beberapa kegiatan di masjid dapat mengisi waktu saat dalam bulan Ramadhan.
Hal yang mungkin menarik misalnya adalah mengunjungi masjid-masjid tempat ibadah, seperti yang dilakukan oleh Askar Al Qadri, anggota KDM saat mengunjungi masjid Lapeo di Campalagian , hal ini dapat mendekatkan diri dan meningkatkan keimanan.
Masjid Nuruttaubah Lapeo, Campalagian dari atas lantai 4. Dari atas
sana, kita sudah jelas dapat melihat setiap bagian dan sudut-sudut di
Kec. Campalagian dalam versi mini, seperti yang terlihat pada rumah-rumah warga, mobil, dan motor di sepanjang jalur utama trans Sulawesi Barat.
![]() |
View lantai 4 Masjid Nuruttaubah Lapeo, kec. Campalagian, kab. Polewali Mandar (Foto : Askar Al Qadri) |
Selain masjid Lapeo, masih ada banyak tempat-tempat berpotensi wisata religi yang dapat dikunjungi menjelang, dan selama bulan Ramadhan.
Bahwa agama Islam masuk ke wilayah Mandar, Sulawesi Barat dibawa oleh orang-orang dari luar saat para raja non Islam memerintah, Islam kemudian diterima dengan baik oleh raja-raja dan mereka memeluk agama Islam, hingga kemudian masyarakatnya mengikut agama yang dianut oleh raja. Ini dapat menambah pengetahuan soal sejarah Islam.
Bukti bahwa para penganjur Islam ini pernah membawa Islam ke Mandar adalah banyaknya jejak makam para penganjur Islam yang tersebar di kabupaten Polewali Mandar dan Majene, dari Syekh Abd Rahim Kamaluddin yang menyebar Islam di kerajaan Balanipa, Syekh Abd. Mannan yang menyebar Islam di kerajaan Banggae, Suryodilogo yang menyebar Islam di kerajaan Pamboang.
Selain makam-makam penyebar Islam, makam-makam ulama populer terkenal juga dapat menjadi tujuan wisata diantaranya makam KH Muhammad Tahir (Imam Lapeo), makam KH. Muhammad Saleh (Annangguru Saleh) serta beberrapa makam ulama lainnya.
Kontributor :
Teks : Muhammad Tom Andari, Askar Al Qadri
Foto : Askar Al Qadri
Opini
Berbicara tentang Mandar yang sekarang, tentu harus dimulai dari
kehidupan manusia yang paling awal menghuni wilayah ini hingga membentuk
komunitas dan budaya seperti yang kita lihat sekarang meskipun sudah
banyak yang tidak nampak lagi baik karena alasan agama, hukum atau usaha
penghapusan yang telah dilakukan oleh penjajah.
Manusia awal yang saya
maksud disini tentu saja To Manurung seperti yang diceritakan didalam
Lontaraq Pattodioloang, lalu masuk ke periode To Makaka, kemudian masuk periode Maraqdia dan berlanjut ke periode perang kemerdekaan dan berakhir pada Mandar di kekinian.
![]() |
Raja Balanipa berangkat menuju kediaman assistent-resident Mamuju (tahun 1938). (Foto : Wikiwand) |
Untuk sejarah mandar sendiri, masih sangat sedikit literatur yang mengupas hal itu. Dalam mengkaji sebuah sejarah, terkadang kita terperangkap dengan keharusan adanya bukti tertulis yang langsung menunjukkan fakta sejarah.
Terkadang kita mengacuhkan cerita rakyat, budaya tutur dan tidak
berusaha mencari benang merah dari bahasa tutur itu dengan fakta sejarah.
Sementara disisi lain kita tahu bahwa leluhur kita sudah ada sebelum
budaya menulis dimulai. Ayo semua luluareq, mulailah pelajari sejarah dan budaya kita sebelum sejarah dan budaya itu hilang dan tersembunyi.
Kontributor :
Teks : Baso
Fot : Wikiwand
Opini
"Kunjungan wisatawan ke Toraja Utara meningkat, kemungkinan akhir-akhir ini berhubungan dengan efek Lolai, Negeri Di Atas Awan, tetapi kunjungan ke Tana Toraja mengalami penurunan, ada apa
gerangan?? Padahal even "Lovely December" sudah dipromosi hingga ke
pusat kota provinsi Sulawesi Selatan, dan dibantu oleh Dinas Pariwisata
Provinsi Sulawesi Selatan "
|
Menurut opini saya, sesuatu yang jelas adalah karena panorama kampung diatas awannya memang istimewa, disamping belum formal karena belum ada pengelola
wisata termasuk retribusi (lebih ke ekowisata dimana rumah nginapnya
hanya rumah tongkonan warga sebagai homestay yang bisa nego), bisa
mendirikan tenda di puncak, biaya parkir dan jasa lainnya belum berlaku,
walau pelosok tapi fasilitas listrik sudah masuk, 20 km dari Rantepao dan
naik pete2 20rb, ojek juga ada (kata teman).
Strategi yang berlaku meski tidak dikelola resmi oleh pemerintah, malah lebih leluasa sebab 10 orang yang naik bisa berlipat-lipat promosi yang dilahirkan melalui media sosial yang terhitung murah dan praktis. apalagi jika mencapai jumlah ratusan orang. Ini sebenarnya sama dengan yang dilakukan oleh teman2 Kompadansa Mandar/KDM (hanya khas alam saja yang beda). Sama juga dengan kawasan persawahan di kampung Rammang-Rammang kab.Maros, Sulawesi Selatan yang pada awalnya dieksplor oleh komunitas kecil yang suka alam bebas, lalu disambut oleh pemerintah dengan menghelat Full Moon Festival Rammang-Rammang dengan menawarkan eksotisme bulan purnama, danau-danau kecil serta disentuh pagelaran kesenian. Demikian pun kampung Lolai di kab. Toraja Utara, Sulawesi Selatan yang sebenarnya semenjak dari dahulu negeri di atas awan tersebut tertimbun gempita wisata.
Semenjak teknologi informasi berkembang termasuk media sosial baru
keindahan itu terekspos dari hal-hal yang terkecil dan sederhana (berkemah,
selfie dll). Namun dalam hal ini, tidak berarti kita mesti menafikkan
organisasi pengelola termasuk adanya Pokdarwis. Tetapi efesiensi,
ketepatan kerja mesti imbang atau bahkan lebih dari upaya anggaran yang
tersedia dimana tentu dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat
setempat sebagai pendukung utama obyek tersebut.
Coba kita evaluasi
perkembangan area-area wisata yang ada di Sulawesi Barat, atau Polewali Mandar secara
khusus, misal yang ada di Kanang, Binuang, Mampie, Palippis dsb. Apakah ada grafik perkembangan nda, sekali lagi jika soal event
kesenian dan budaya yang dapat menyokong wisata kita, saya berpikir sudah cukup "panas", tetapi eksplor atau pemilahan kekayaan panorama alamnya bagaimana? beribu
berjuta turis pun kita undang pada tiap launching/opening ceremoninya
mungkin tidak akan bertambah lagi kunjungannya (mis. fokus pada satu
obyek wisata). Contoh Mentawai di Sumatra karena ada Ombak nya yang
bagus tuk selancar, pedalaman Ubud di Bali karena ada perbukitan sawah,
sejuk, kental tradisi membuat seniman pelukis dll betah. Akhir-akhir ini NTT
dan Maluku utara ramai terekspos oleh laut dan pantainya.
Dari sekian
yang sudah dirambah oleh teman2 Komunitas Penggiat Budaya dan Wisata Mandar/KDM, terbilang lumayan spot-spot yang dipromokan, asyik dan indah. Dan semestinya kita mengadakan semacam review atau resume dari semua objek keindahan itu. Salam Eksplor,,
Kontributor :
Gambar : Muhammad Tom Andari
Teks : Muhammad Rachmat
Makassar, Mandar, Opini, Seni
Sejak semalam (28/08/2014) sampai pagi ini (29/08/2014) melihat foto
Komunitas Sureq Bolong yang melakukan pementasan di Makassar (kiriman dari Jayalangkaraq).
![]() |
Penampilan Ishak dari Sureq Bolong saat pertunjukan di Kampung Budaya Makassar 2014 (Foto : Ishak ) |
Di Makassar pernah lahir satu kelompok musik
yang bernama Laba-Laba Duda Hitam. Kelompok ini cukup disegani dan
dikenal, paling tidak di gedung kesenian Makassar. Paling
membanggakan karena kelompok ini didominasi orang Mandar, sehingga
karakter dan materi lagu/ pertunjukan mereka itu berpijak pada budaya
Mandar. Sebutlah misalnya sayang-sayang,
paccalong, kalindaqdaq, keke, gongga: dieksplor sedemikian rupa dalam
setiap karya original mereka. Sayangnya kelompok ini berumur pendek,
tapi meninggalkan kesan yang manis.
Saat gaung kelompok ini meredup,
para punggawanya kemudian eksis (makin eksis) di Teater Kampus (Terkam)
Universitas Negeri Makassar. Saya mau bilang, mereka lah para guru saya: orang yang
mengajak saya untuk berteater. Kala itu, orang Mandar lagi yang dominan
di Terkam, sehingga ada plesetan bahwa Terkam itu akronim dari teater
kampung. Saya berani berkata, di fase itu-lah kejayaan Mandar dalam
jagad kesenian di Makassar berada. Tanpa menapikan popularitas Alm.
Nurdahlan Jerana, tapi nanti melalui abang Ishak Jenggot, Dalif Palipoi,
Sahabuddin Mahgana: orang mandar memiliki wadah atau kelompok yang
sangat-sangat berbau Mandar. Alhasil, rumah kost saya (Pondok Anugerah)
di Dg. Tata I disesaki para peteater, pemusik, pelukis dan pesastra:
dan dominan orang Mandar. Dari situlah kemudian, Komunitas Sureq Bolong
dirancang. Selain karna mashab kesenian yang kental, kala itu hanya
Teater Flamboyat yang eksis di Polman: dan tidak ada kualitas yang
terakui tanpa kompetisi. Harus ada komunitas lain beberapa tahun ke
depan (kesimpulannya). Hasil dari proses di atas: Dalif membentuk
Sossorang, Sahabuddin merancang One Do, Ishak tetap di Sureq Bolong yang
kemudian membina Madatte Arts.
Lalu seperti yang kita lihat hari ini, sanggar seni tumbuh subur di kabupaten Polewali Mandar: lebih berwarna dan dinamis. Untuk Tinambung saya mencatatnya seperti ini: sebanyak apapun komunitas yang lahir, loyalitas kepada lembaga tetap terjaga. Saya belum pernah mendengar ada komunitas di Tinambung yang gulung tikar. Walau pada kenyataannya, ada lembaga yang dihuni hanya 1-3 orang saja. Tapi hal ini didukung iklim yang baik: mereka saling bantu lintas lembaga. Kedewasaan seperti ini yang sangat sulit dilakukan di Polewali. Tapi lambat laun ke arah itu akan ada: saya mulai saja dari perpecahan di Madatte yang kemudian melahirkan 2 lembaga (tiga kalau Madatte juga dihitung). Pada akhirnya kita akan disatukan oleh kebutuhan. Contoh kasus, Maspit dan Alm. Darmawi pernah masuk formasi Laba-Laba Duda Hitam sekaligus tetap menjadi anggota TF.
Melalui tulisan pendek ini: dan mengamati perkembangan Kab. Balanipa, maka: saatnya ada poros Polewali (hebat dan kreatif dapat dipelajari: hanya persoalan waktu).
Kontributor : Ibnu Masyis
Komunitas, Opini
Seperti
ada gelombang virus budaya dan wisata yang ditularkan dan hal tersebut
tidak pernah kami duga, nyaris menyentuh mereka para pemuda dan
pemudi, mulai dari “daun muda” hingga “daun tua”, tak peduli berapa
interval umur yang ada, semuanya larut dalam euforia bahwa mereka
sedang dalam usaha untuk berwisata sembari memperkenalkan daerah mereka
sendiri.
Kami nyaris tak pernah menyangka bahwa gelombang yang lahir saat ini merupakan efek dari riak budaya wisata yang kami gaungkan kurang lebih setahun yang lalu. Ya, efeknya viral dengan senjata social media yang lebih dahulu dihembuskan oleh para pendiri social media seperti Facebook dan Twitter. Usaha menggelorakan virus cinta tanah kelahiran kami tempuh melalui Facebook, pilihannya jatuh ke aplikasi sosmed ini, paling ampuh untuk wilayah Sulawesi Barat, dengan kisaran pengguna dari tingkat social ekonomi yang rendah, menengah hingga yang tinggi, namun sayang karena grup ini tidaklah terlalu kental dalam menggunakan bahasa daerah sendiri (Mandar) maka kemudian ia sedikit dilirik oleh orang-orang yang menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar bahasa mereka, atau apakah mereka kurang respek dengan penggiat budaya daerah yang mungkin lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia, entahlah, yang jelas menyampaikan segala hal tentang budaya dan wisata dalam bahasa daerah tidaklah efektif untuk saat ini, jika tidak dibarengi dengan bahasa nasional, Bahasa Indonesia.
Gema budaya dan wisata nyaris terasa, ada banyak pernak-pernik yang berseliweran di wall (dinding) facebook, testimoni mengenai ketakjuban pada objek wisata, atau hanya sekedar opini mengenai ke-Mandar-an yang kurang kental, Ya, ini memang tentang menyebarkan hal yang berhubungan dengan Mandar dan Sulawesi Barat, namun dalam hal yang lebih dan agak tradisional (budaya –wisata).
Budaya
dan wisata, dua hal ini merupakan citra yang dapat mengangkat suatu
daerah, namun dua hal ini pulalah yang paling banyak menguras biaya
jika ingin mendapat prioritas. Satu contoh kasus untuk hal budaya
adalah dalam perkawinan yang terjadi di suku Mandar, ada begitu banyak
ritual yang terjadi, jika hari ini ingin mengikuti ritual-ritual
tersebut, mulai dari rangkaian messisi hingga acara perkawinan maka
bersiaplah untuk budget dalam jumlah besar, lalu kemudian wajar jika
seorang lelaki di Mandar akan berpikir masak-masak untuk menikahi sang
pujaan hati, belum lagi budaya yang juga berlaku di Mandar jika si
calon mempelai laki-laki akan membawa sejumlah “uang belanja” untuk
biaya operasional pernikahan. Rangkaian pelaksanaan kegiatan budaya
sejatinya memakan biaya yang tidak sedikit, sama halnya dengan
kegiatan-kegiatan kebudayaan yang dilakukan pemerintah, coba saja lirik
di bagian pendanaannya, pasti ada biaya yang jumlahnya segunung.
Dalam ranah budaya kami menelusuri langsung ke lokasinya, mencoba merekam peristiwa dan kejadian yang berlangsung untuk kemudian melakukan pendokumentasian seadanya, sembari melirik sedikit hal yang melatarbelakangi kejadian tersebut dalam aspek yang bernama sejarah. Tetapi, ini masih dalam tahap pengenalan, ada banyak hal penting yang luput, itu tak mengapa, saat ini bukan penting atau tidaknya, tetapi apakah “ada” atau “tidak ada” persoalan “penting” bisa dikoreksi untuk berikutnya.
Lalu untuk wisata seperti apa? Pengembangan wisata nyaris tak ada yang ingin menyentuh, karena sifatnya yang dalam waktu panjang tak dapat dinikmati dalam waktu singkat. Sedikit wilayah yang ingin masuk kedalam ranah “pengembangan wisata” untuk betul-betul melakukan program peningkatan fasilitas, pengadaan sarana dan prasarana, serta promosi. Sama halnya dengan pelaksanaan kegiatan budaya program wisata lebih menyerap banyak budget untuk peaksanaannya, biaya pemeliharaan adalah yang paling banyak dibutuhkan, namun satu hal yang paling penting adalah sarana dan prasarana semisal akses jalan menuju tempat wisata, ini yang paling penting.
Lalu, apa yang kami lakukan? Kami berwisata di negeri sendiri, mengenali potensinya, melakukan sedikit intervensi yang kami bisa, mengenalkan lokasi wisata yang mungkin belum banyak dijamah orang, dan mengabarkannya pada orang lain. Lagi-lagu kami hanya bisa mempromosikannya lewat dunia tulis menulis karena itu metode yang paling efektif untuk merekamnya, dan dalam waktu yang bersamaan menuliskan nama dalam catatan sejarah usaha pelestarian budaya dan wisata di negeri yang dahulu terbelakang.
Kami nyaris tak pernah menyangka bahwa gelombang yang lahir saat ini merupakan efek dari riak budaya wisata yang kami gaungkan kurang lebih setahun yang lalu. Ya, efeknya viral dengan senjata social media yang lebih dahulu dihembuskan oleh para pendiri social media seperti Facebook dan Twitter. Usaha menggelorakan virus cinta tanah kelahiran kami tempuh melalui Facebook, pilihannya jatuh ke aplikasi sosmed ini, paling ampuh untuk wilayah Sulawesi Barat, dengan kisaran pengguna dari tingkat social ekonomi yang rendah, menengah hingga yang tinggi, namun sayang karena grup ini tidaklah terlalu kental dalam menggunakan bahasa daerah sendiri (Mandar) maka kemudian ia sedikit dilirik oleh orang-orang yang menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar bahasa mereka, atau apakah mereka kurang respek dengan penggiat budaya daerah yang mungkin lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia, entahlah, yang jelas menyampaikan segala hal tentang budaya dan wisata dalam bahasa daerah tidaklah efektif untuk saat ini, jika tidak dibarengi dengan bahasa nasional, Bahasa Indonesia.
Gema budaya dan wisata nyaris terasa, ada banyak pernak-pernik yang berseliweran di wall (dinding) facebook, testimoni mengenai ketakjuban pada objek wisata, atau hanya sekedar opini mengenai ke-Mandar-an yang kurang kental, Ya, ini memang tentang menyebarkan hal yang berhubungan dengan Mandar dan Sulawesi Barat, namun dalam hal yang lebih dan agak tradisional (budaya –wisata).
Member KOMPA DANSA MANDAR saat melakukan trip mengunjungi seni bela diri pakkottau di desa parappe kec. Campalagian Lab. Polewali Mandar (Foto : Zulkifli Zain) |
Dalam ranah budaya kami menelusuri langsung ke lokasinya, mencoba merekam peristiwa dan kejadian yang berlangsung untuk kemudian melakukan pendokumentasian seadanya, sembari melirik sedikit hal yang melatarbelakangi kejadian tersebut dalam aspek yang bernama sejarah. Tetapi, ini masih dalam tahap pengenalan, ada banyak hal penting yang luput, itu tak mengapa, saat ini bukan penting atau tidaknya, tetapi apakah “ada” atau “tidak ada” persoalan “penting” bisa dikoreksi untuk berikutnya.
Lalu untuk wisata seperti apa? Pengembangan wisata nyaris tak ada yang ingin menyentuh, karena sifatnya yang dalam waktu panjang tak dapat dinikmati dalam waktu singkat. Sedikit wilayah yang ingin masuk kedalam ranah “pengembangan wisata” untuk betul-betul melakukan program peningkatan fasilitas, pengadaan sarana dan prasarana, serta promosi. Sama halnya dengan pelaksanaan kegiatan budaya program wisata lebih menyerap banyak budget untuk peaksanaannya, biaya pemeliharaan adalah yang paling banyak dibutuhkan, namun satu hal yang paling penting adalah sarana dan prasarana semisal akses jalan menuju tempat wisata, ini yang paling penting.
Lalu, apa yang kami lakukan? Kami berwisata di negeri sendiri, mengenali potensinya, melakukan sedikit intervensi yang kami bisa, mengenalkan lokasi wisata yang mungkin belum banyak dijamah orang, dan mengabarkannya pada orang lain. Lagi-lagu kami hanya bisa mempromosikannya lewat dunia tulis menulis karena itu metode yang paling efektif untuk merekamnya, dan dalam waktu yang bersamaan menuliskan nama dalam catatan sejarah usaha pelestarian budaya dan wisata di negeri yang dahulu terbelakang.
Komunitas, Opini
Dalam
setiap kunjungan budaya dan wisata kami menemukan banyak cinta yang
kadang bersemi dan tumbuh diantara mereka, entah itu cinta yang secara
spontanitas tumbuh, cinta yang sedari dulu dipersiapkan untuk tumbuh,
atau cinta yang tumbuh setelah mereka bertemu dalam kunjungan. Kondisi
pra, present, dan past, hal itu mungkin lebih bisa menggambarkan keadaan
yang ada. Namun selain dari tiga momen tersebut, terdapat fenomena
cinta insidentil yang bisa saja tumbuh, dan hal tersebut yang lebih seru
untuk dicermati, ini mungkin yang paling sulit untuk dirasionalkan,
mengapa ia dapat tumbuh dalam waktu yang tiba-tiba, tanpa rencana.
Kembali pada falsafah cinta yang sering didengung-dengungkan orang awam
bahwa ia tak pernah melihat waktu, tempat dan orang, ia bisa datang
dimanapun, kapanpun dan pada siapapun.
![]() |
Ilustrasi |
Merupakan
hal yang wajar jika cinta bisa saja tumbuh secara spontan, ada banyak
momen yang terjadi dalam setiap kunjungan yang mereka lakukan dan
kesempatan ini memang ada. Jadilah kemudian kunjungan budaya dan wisata
menjadi ladang dimana cinta disemai dan melahirkan kuncup yang indah.
Cinta seperti apa yang dibentuk? Tentu saja cinta yang akan dibingkai
oleh peristiwa dan kejadian yang berhubungan dengan budaya-wisata pula.
Potensi untuk melakukan pendekatan interpersonal dimungkinkan adanya
atas nama budaya-wisata, hal yang dapat dijadikan alat atau modus untuk
menyelinap di balik “misi tersembunyi” yang ada.
Selain
cinta, diantara mereka juga kadang tumbuh rasa kagum yang bisa terbaca
dari mimik wajah dan roman muka, entahlah kekaguman itu kelak akan
dipancarkan atau tidak, yang jelas jalan untuk terjadinya proses
penyemaian cinta selalu ada. Kekaguman disampaikan kadang dalam lelucon
sederhana, atau pertanyaan simple seputar asal daerah. Lalu setelah itu
apa? hanya mereka yang tahu apakah akan menyemai benih, memupuknya,
hingga kemudian beroleh hasil panennya kelak.
Kegiatan
intens dalam bingkai budaya dan wisata menuntut mereka memiliki
persepsi dan pola pikir yang sama, keadaaan dan peristiwa yang sama
dengan jenis aktivitas yang sama pula. Lalu bagaimana mungkin cinta
tidak akan tumbuh, jika mengetahui segala bentuk perilaku, sifat, dan
karakter yang didapati. Walaupun, berlangsung singkat dan instan
penilaian tidak bijak dilakukan dalam satu kali pengamatan, namun
kondisi dan suasana yang lebih intens bisa membuat pengamatan yang
mestinya beberapa kali dilakukan menjadi disingkat hanya dalam satu kali
pengamatan saja. Keadaan memang bisa sangat mengubah kondisi hati dan
perasaan, dan cinta memang akan selalu bicara soal hati dan perasaan
yang selalu akan buta melihat fakta dan realita yang hadir.
Cinta yang hadir dalam euforia budaya-wisata tidaklah pernah salah dan tak akan pernah bisa disalahkan, ini masih dalam ambang batas yang bisa diterima ketika seorang manusia merasa menjadi lebih nyaman dalam kondisi yang agak tradisional.
Tulisan Paling Banyak Dibaca
-
Sulawesi Barat sebagai provinsi yang terbentuk pada tahun 2004, banyak menyimpan potensi wisata yang belum dimaksimalkan dengan baik. Objek...
-
Di jajaran kuliner Mandar bau peapi sudah lama terkenal di posisi pertama, hampir setara dengan jepa sebagai teman bersanding untuk menik...
-
Pengembangan wisata adalah mutlak membutuhkan fasilitas akomodasi, jika anda berada di kab. Majene provinsi Sulawesi Barat, dan ingin meman...
-
Tanjung Selor, wilayah Bulungan, merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Utara, sebelumnya daerah ini merupakan wilayah Kalimantan Timur yang...
-
Pantai Lapeo, kec. Campalagian kab. Polewali Mandar pilihan lain daerah tujuan wisata saat berkunjung ke kec. Campalagian, lokasinya tak ...
-
Panorama pantai yang hening menggoda, berlatar belakang perbukitan yang menjulang anggun, seolah menghadirkan kesan yang teduh. Tempat yan...
-
Sebut saja ini zi arah tradisi maritim (urgensi museum), yang saya lakukan ke kediaman sang legenda, Kapten Pahlawan Laut di Museum TNI A...
-
Berbagi cerita beberapa hari yang lalu saya mengikuti kegiatan membantu tetangga "Mallele boyang" (mengangkat dan memindahkan r...
-
Kabupaten Majene baru saja memperingati hari jadinya, peristiwa tersebut dijadikan momentum bersamaan dengan peringatan hari kemerdekaan In...
-
Kawao, belakangan ini pengguna facebook di Sulbar suka menuliskan kata itu, kata yang seharusnya ditulis kawao' atau kawaoq. Apakah s...
Labels
Air Terjun
Akomodasi
Alu
Anreapi
Aralle
Arsitektur
Artikel
Banggae
Banggae Timur
Batetangnga
Berita
Binuang
Budaya
Budaya Mandar
Budong-Budong
Bukit
Buku
Bulo
Campalagian
Caving
Figur
Foto
Foto Budaya
Foto Sejarah
Foto Wisata
Gasing
Goa
Gua
Hotel
Kalukku
Kalumpang
Kanang
Karya
Kecantikan
Kegiatan
Kerajaan Binuang
Komunitas
Kuliner
Limboro
Lingkungan
Literasi
Lomba
Luyo
Majene
Makam
Makassar
Malunda
Mamasa
Mambi
Mampie
Mamuju
Mamuju Tengah
Mamuju Utara
Mandar
Obje
Objek Wisata
Opini
Pamboang
Pantai
Pantai Sulbar
Pattae
Penja
Permainan Tradisional
Polewali Mandar
Rebana Mandar
Refleksi
Sandeq
Sandeq Race
Sejarah
Sendana
Seni
Senja
Situs Sejarah
Sulawesi Barat
Sungai
Sungai Mandar
Sutera Mandar
Tapalang
Tapango
Tappalang Barat
Tarian Mandar
Teater
Teluk Mandar
Tinambung
Tokoh
Trip
Tubo Sendana
Ulumanda
Video
Wisata
Wisata Majene
Wisata Mamasa
Wisata Mamuju
Wisata Mamuju Tengah
Wisata Mamuju Utara
Wisata Polewali Mandar
Wisata Polman
Wisma Penginapan
Wonomulyo