Komunitas Penggiat Budaya Dan Wisata Mandar (KOMPA DANSA MANDAR) Dari Riak Kecil Menuju Gelombang Budaya Dan Wisata Yang Lebih Besar

Seperti ada gelombang virus budaya dan wisata yang ditularkan dan hal tersebut tidak pernah kami duga, nyaris menyentuh mereka para pemuda dan pemudi, mulai dari “daun muda” hingga “daun tua”, tak peduli berapa interval umur yang ada, semuanya larut dalam euforia bahwa mereka sedang dalam usaha untuk berwisata sembari memperkenalkan daerah mereka sendiri.

Kami nyaris tak pernah menyangka bahwa gelombang yang lahir saat ini merupakan efek dari riak budaya wisata yang kami gaungkan kurang lebih setahun yang lalu. Ya, efeknya viral dengan senjata social media yang lebih dahulu dihembuskan oleh para pendiri social media seperti Facebook dan Twitter. Usaha menggelorakan virus cinta tanah kelahiran kami tempuh melalui Facebook, pilihannya jatuh ke aplikasi sosmed ini, paling ampuh untuk wilayah Sulawesi Barat, dengan kisaran pengguna dari tingkat social ekonomi yang rendah, menengah hingga yang tinggi, namun sayang karena grup ini tidaklah terlalu kental dalam menggunakan bahasa daerah sendiri (Mandar) maka kemudian ia sedikit dilirik oleh orang-orang yang menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar bahasa mereka, atau apakah mereka kurang respek dengan penggiat budaya daerah yang mungkin lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia, entahlah, yang jelas menyampaikan segala hal tentang budaya dan wisata dalam bahasa daerah tidaklah efektif untuk saat ini, jika tidak dibarengi dengan bahasa nasional, Bahasa Indonesia.

Gema budaya dan wisata nyaris terasa, ada banyak pernak-pernik yang berseliweran di wall (dinding) facebook, testimoni mengenai ketakjuban pada objek wisata, atau hanya sekedar opini mengenai ke-Mandar-an yang kurang kental, Ya, ini memang tentang menyebarkan hal yang berhubungan dengan Mandar dan Sulawesi Barat, namun dalam hal yang lebih dan agak tradisional (budaya –wisata).

member kompa dansa mandar menyaksikan pakkottau di desa parappe campalagian polman
Member KOMPA DANSA MANDAR saat melakukan trip mengunjungi seni bela diri pakkottau di desa parappe kec. Campalagian Lab. Polewali Mandar  (Foto : Zulkifli Zain)
Budaya dan wisata, dua hal ini merupakan citra yang dapat mengangkat suatu daerah, namun dua hal ini pulalah yang paling banyak menguras biaya jika ingin mendapat prioritas. Satu contoh kasus untuk hal budaya adalah dalam perkawinan yang terjadi di suku Mandar, ada begitu banyak ritual yang terjadi, jika hari ini ingin mengikuti ritual-ritual tersebut, mulai dari rangkaian messisi hingga acara perkawinan maka bersiaplah untuk budget dalam jumlah besar, lalu kemudian wajar jika seorang lelaki di Mandar akan berpikir masak-masak untuk menikahi sang pujaan hati, belum lagi budaya yang juga berlaku di Mandar jika si calon mempelai laki-laki akan membawa sejumlah “uang belanja” untuk biaya operasional pernikahan. Rangkaian pelaksanaan kegiatan budaya sejatinya memakan biaya yang tidak sedikit, sama halnya dengan kegiatan-kegiatan kebudayaan yang dilakukan pemerintah, coba saja lirik di bagian pendanaannya, pasti ada biaya yang jumlahnya segunung.

Dalam ranah budaya kami menelusuri langsung ke lokasinya, mencoba merekam peristiwa dan kejadian yang berlangsung untuk kemudian melakukan pendokumentasian seadanya, sembari melirik sedikit hal yang melatarbelakangi kejadian tersebut dalam aspek yang bernama sejarah. Tetapi, ini masih dalam tahap pengenalan, ada banyak hal penting yang luput, itu tak mengapa, saat ini bukan penting atau tidaknya, tetapi apakah “ada” atau “tidak ada” persoalan “penting” bisa dikoreksi untuk berikutnya.

Lalu untuk wisata seperti apa? Pengembangan wisata nyaris tak ada yang ingin menyentuh, karena sifatnya yang dalam waktu panjang tak dapat dinikmati dalam waktu singkat. Sedikit wilayah yang ingin masuk kedalam ranah “pengembangan wisata” untuk betul-betul melakukan program peningkatan fasilitas, pengadaan sarana dan prasarana, serta promosi. Sama halnya dengan pelaksanaan kegiatan budaya program wisata lebih menyerap banyak budget untuk peaksanaannya, biaya pemeliharaan adalah yang paling banyak dibutuhkan, namun satu hal yang paling penting adalah sarana dan prasarana semisal akses jalan menuju tempat wisata, ini yang paling penting.

Lalu, apa yang kami lakukan? Kami berwisata di negeri sendiri, mengenali potensinya, melakukan sedikit intervensi yang kami bisa, mengenalkan lokasi wisata yang mungkin belum banyak dijamah orang, dan mengabarkannya pada orang lain. Lagi-lagu kami hanya bisa mempromosikannya lewat dunia tulis menulis karena itu metode yang paling efektif untuk merekamnya, dan dalam waktu yang bersamaan menuliskan nama dalam catatan sejarah usaha pelestarian budaya dan wisata di negeri yang dahulu terbelakang.


No comments:

Write a Comment


Top